Sejak kelas tiga tingkat sekolah dasar (SD), saya sebagai murid yang memiliki hobi membaca buku sangat suka topik geografi dan sejarah baik di Indonesia maupun peristiwa yang membentuk dunia ini. Hingga sekarang, topik yang saya paling suka membicarakan adalah pola pemerintahan Indonesia dan politik. Kenapa? Karena saya yakin bahwa negara tanpa politik tidak bisa berjalan karena hanya dengan sebuah forum demokrasi setiap suara rakyat bisa terdengar dan aspirasi mereka bisa disampaikan. Sehingga, politik adalah wujud yang paling nyata mengenai sehatnya sistem demokrasi negara kita.
Berawal Dengan Barang Antik
Saya harus mengaku bahwa hobi yang saya punya ini lumayan unik dan mungkin tidak terlalu dikenal banyak orang. Pada 25 Maret 2023, saya lagi berada di Kota Semarang untuk berwisata dengan ibu dan bapak saya dan saya luangkan waktu untuk mengunjungi Pasar Antik Kota Lama, Semarang. Di sana saya membeli tiga materi antik yaitu poster makanan ringan merek “Aladin” dari tahun 1985, poster iklan “Prodent Fluor” dari sekitar tahun 1960, dan yang paling special adalah poster Sukarno and Moh. Hatta dari awal dasawarsa 1950. Kesukaan saya terhadap barang antik menumbuh sejak saat itu dan setiap kali saya berliburan ke kota di Pulau Jawa, saya mengunjungi pasar antik lokalnya.
Fenomena Pasar Cikapundung
Setelah mengunjungi Semarang, pada liburan selanjutnya saya pergi menuju kota Bandung dan di sana melalui riset secara daring saya mengetahui adanya Pasar Barang Antik Cikapundung yang berlokasi di Kota Bandung tersebut. Di sana (bersama bapak saya yang juga gemar akan filateli) kita melihat berbagai barang antik berkualitas dan pastinya prangko! Jika Anda mengunjungi lantai teratas, Anda akan ketemu dengan rangkaian toko barang antik milik Abah Kepret, yang sekarang menjadi langganan saya saat mencari barang kuno maupun filateli. Di toko Abah inilah saya membeli filateli antik pertamaku. Saya membeli satu filateli zaman 1945, filateli Conefo, filateli “Seratus Tahun Prangko di Indonesia”, dan filateli Asian Games 1962.
Saya sering menjejer koleksi prangko yang saya baru beli, dan saat saya membeli set prangko tersebut di Bandung untuk pertama kalinya – saya yakin bahwa filateli adalah hobi kesukaanku. Sejak itu, setiap kali saya ke kota manapun itu saya pasti cari filateli di Kantor Pos (yang biasanya menjual filateli kuno atau edisi terbaru) atau dari pasar barang antik di mana ada banyak buku koleksi prangko jadul. Koleksi filateli saya melesat dan bertumbuh sejak “Fenomena Pasar Cikapundung” itu.
Keinginan Untuk Berorganisasi
Jujur, saya lupa mengenai cara saya mengenal Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI). Namun yang saya ingat adalah bahwa saya baru kenalnya saat saya berliburan bersama keluarga di Kota Bandung pada awal 2024. Akhirnya dengan momentum bahwa ada waktu luang, saya iseng-iseng melihat situs resmi PFI di Google, dan melihat akun sosial medianya di Instagram dan Facebook. Saya mencoba menghubungi nomor yang ada di situs resmi organisasinya, namun pada akhirnya orangnya tidak menjawab pesan-pesan saya jadi saya kemudian mencoba menghubungi nomor beda yang ada di akun Facebook PFI. Dan ternyata tokoh yang saya hubungi tersebut bernama Pak Mahfudi, dan dari beliau saya mendapatkan nomornya Ibu Ani Dasidim yang beliau sebutkan sebagai salah satu pengurus PFI daerah DKI Jakarta. Ibu Ani Dasidim-lah yang menambahkan semangat saya untuk mengkoleksikan prangko, dan beliau memperkenalkan berbagai grup Filatelis kepada saya.
Kelanjuntannya Hobi Filateli
Sampai sekarang, saya sangat antusias untuk mengkoleksi filateli dari berbagai daerah di Indonesia. Filateli yang saya koleksikan berasal dari topik perayaan hari ulang tahun suatu peristiwa bersejarah, geo-politik misalnya pemilu, event olahraga jadul, dan prangko yang terkait dengan program Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) di Indonesia pada era Suharto.
Saya berharap bahwa ke depannya semakin banyak anak muda seperti saya yang terjun untuk menjelajahi pesonanya dunia filateli dan bahwa hobi ini akan terus dilestarikan sebagai bentuk apreasiasi terhadap sejarah nasional bangsa kita.
-Edward