Oleh Mahpudi
Bukan sebuah kebetulan jika prangko pertama tentang kota Jakarta menampilkan Gedung GHS (Geneeskundige Hoogeschool te Batavia). Gedung yang berlokasi di Jalan Struiswijk atau kini bernama Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, sejak 16 Agustus 1927 merupakan kampus bagi sekolah tinggi kedokteran sebagai kelanjutan dari STOVIA yang legendaris itu. Prangko GHS diterbitkan oleh administrasi pos Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) pada tahun 1945. Kala itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda meresmikan berdirinya Geneeskundige Faculteit Nood Universiteit van Indonesia. Dengan penerbitan prangko tersebut, Penguasa Hindia Belanda hendak mengatakan bahwa mereka begitu memperhatikan peningkatan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia negeri jajahannya.
Prangko dan Bukti Kepedulian Penjajah
Menarik untuk dicermati, hingga akhir tahun 1948 administrasi pos Hindia Belanda diketahui masih aktif menerbitkan prangko yang dipergunakan untuk keperluan perposan di wilayah Nusantara. Padahal sejak tahun 1942 negeri ini telah diambil alih oleh Tentara Pendudukan Jepang. Bahkan kemudian, ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 wilayah yang dikuasai Belanda menjadi Republik Indonesia. Ini dikarenakan status keanggotaan administrasi pos Hindia Belanda masih diakui dalam Perhimpunan Pos Sedunia (UPU). Posisinya baru digantikan Indonesia pada akhir tahun 1949, terhitung sejak penyerahan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Jangan heran, bila pada periode 1942- 1949 ada tiga Administrasi Pos yang menerbitkan prangko di wilayah ini yakni pemerintah Hindia Belanda, Jepang, menyusul kemudian Republik Indonesia. Bagi para filatelis, keberagaman prangko ini sangat menarik minat mereka untuk memburu prangko-prangko pada periode istimewa tersebut.
Menurut catatan resmi yang diterbitkan oleh Dinas PTT Hindia Belanda tahun 1946-1947, mengingat kesulitan yang dihadapi pada masa Perang Dunia Kedua, produksi prangko tidak dapat dilakukan di Eropa seperti biasanya. Sebagai gantinya, prangko-prangko yang digunakan oleh administrasi pos Hindia Belanda dicetak di Austria dan Amerika Serikat. Khusus prangko yang menampilkan Gedung GHS serta sejumlah panorama alam Indonesia yang terbit tahun 1945 diproduksi oleh American Bank Note Company, New York, Amerika Serikat.
Gedung GHS dan Kelahiran Universitas Indonesia
Semula gedung GHS tidak dibangun secara khusus untuk penyelenggaraan pendidikan, melainkan perpustakaan dan laboratorium. Bangunan menerapkan gaya arsitektur Eropa Kontinental yang umumnya berlantai dua dengan memiliki pintu depan yang megah lengkap dengan pilar-pilarnya. Pembangunannya dimulai sejak tahun 1916 dan selesai pada 5 Juli 1920. Pemanfaatannya seiring dengan perkembangan pendidikan kedokteran yang telah ada sebelumnya. Kala itu, untuk menangani masalah kesehatan bagi kaum pribumi pada tahun 1849 Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan kedokteran yang disebut Sekolah Dokter Djawa berlokasi di kompleks Groot Militair Hospital Weltevreden (Rumah Sakit Besar Militer) yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Dalam perkembangannya, Sekolah Dokter Djawa menjelma sebagai STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) pada 1898. Untuk itu dibangun kampus STOVIA yang letaknya bersebelahan dengan Rumah Sakit Militer. Sekolah kedokteran yang diikuti oleh anak-anak bangsa Indonesia itu kelak dikenal sebagai tempat lahirnya Boedi Oetomo, organisasi kaum pribumi yang mulai menyadari akan jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Tokoh-tokoh pergerakan Nasional seperti Dr. Soetomo, Dr. Tjipto Mangoenkoeosoemo, dan Dr. Wahidin Soedirohoesodo, menempuh pendidikannya di STOVIA.
Pada Agustus 1927 status STOVIA diubah menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneskundige Hogeschool (HGS) te Batavia. Lokasi pendidikannya pun dialihkan ke kampus yang baru di komplek Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis) atau kini dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Keberadaannya sebagai pendidikan tinggi kemudian menginspirasi para intelektual pribumi, terutama mereka yang mengecap pendidikan tinggi di Eropa, menyatakan bahwa sudah saatnya Hindia Belanda juga memiliki universitas.
Adalah Dr. Abdoel RIvai (1871-1937), ketika menjadi anggota Volksraad aktif mempromosikan gagasan pendirian universitas tersebut. Gagasan itu akhirnya mulai direalisasikan Pemerintah Hindia Belanda dengan merintis berdirinya Geneeskundige Faculteit Nood Universiteit van Indonesia. Sayangnya, usaha tersebut terputus karena Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Sekolah ini oleh Jepang diambil alih dan diubah namanya menjadi Ika Daigaku. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 maka dibentuklah Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) yang menggunakan gedung ini sebagai kampusnya. Tak lama kemudian, pada 21 Januari 1946 Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Nood Universiteit (universitas darurat). Dan setelah Indonesia berhasil memperoleh kedaulatannya dari Belanda pada 1949, perjuangan tersebut mencapai hasil dengan dibentuknya Universitas Indonesia pada 2 Februari 1950 yang berkampus di gedung GHS ini. ***