IKLAN

25x25 cm

Iklan

25x25cm
Add Your Tooltip Text Here

gdgdgdgdgdgd

Peta Insulinde dan Cikal Bakal Nasionalisme Indonesia

Oleh Fadli Zon

Sebuah Kartupos yang terbit tahun 1925 ini memuat sebuah peta wilayah yang kita kenal sekarang  sebagai wilayah negara Republik Indonesia. Wilayah tersebut berbentuk kepulauan yang digambar dengan menggunakan empat warna; kuning untuk pulau Sumatera dan Sulawesi, hijau untuk Jawa, merah untuk Kalimantan, coklat untuk Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku-hingga Irian Bagian Barat dengan warna kuning. Kartupos ini diproduksi oleh Emdeeha B.V. Oosterbeek dengan menggunakan teknik Vignet Chromolitograph. Pada masanya, kartupos ini dikirimkan dari Hindia Belanda ke seluruh mancanegara oleh mereka yang ingin memberikan gambaran seperti apakah wilayah jajahan Belanda yang berjuluk Zamrud Khatulistiwa itu.

Pada bagian atas peta dalam kartupos itu tertulis INSULINDE, nama yang dihasilkan dari perpaduan dua kata berbahasa Latin yakni Insules(pulau-pulau) dan Indie (Hindia). Julukan ini diusulkan oleh  sastrawan dengan nama samaran Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887), untuk sebuah  kepulauan tempat dia pernah tinggal dan  menjadi setting novelnya yang legendaris Max Havelaar or The Coffee Auction of the Dutch Trading Company  (1864).  Novel ini menjadi terkenal dan kontroversial karena mengungkap sisi buruk dari praktik kolonialisasi.

Insulinde segera menjadi istilah yang populer dan membentuk sebuah brand tentang wilayah yang terpencar-pencar namun diintegrasikan sebagai kolonisasi Kerajaan Belanda. Popularitasnya begitu menguat di wilayah negeri jajahan itu, terutama di kalangan peranakan Indo-Belanda. Ini terbukti dari penggunaan kata Insulinde untuk penamaan sebuah restoran, toko, hingga taman kota (Insulinde Park). Insulinde menjadi judul sebuah film bisu yang diproduksi tahun 1925 memperlihatkan suasana kehidupan negeri tersebut, disutradarai oleh Max Hauschild dan menjadi film bisu yang digemari publik pada masa itu.

Pada awal abad ke-20 layanan pos seperti berkirim surat dan kartupos merupakan cara berkomunikasi jarak jauh yang sangat populer, termasuk kartupos bergambar yang memvisualisasikan suatu ide atau objek. Maklum saja, teknologi telekomunikasi dan informasi masih jauh dari maju seperti pada saat ini. Tak heran bila surat dan kartupos begitu berpengaruh dalam memberikan informasi dan mengedukasi tentang sesuatu hal, termasuk wilayah dan namanya. Jadilah INSULINDE sebagai penamaan dari wilayah yang populer, terutama di kalangan terpelajar yang tinggal di wilayah kepulauan Nusantara.

Sebenarnya Belanda telah membentuk pemerintahan untuk wilayah ini, mereka menyebut sebagai wilayah Hindia Timur,  mereka menamai pemerintahannya sebagai  Nederlands Indie. Namun pemaknaannya lebih mengarah ke matra administrasi dan kurang mencerminkan dimensi peradaban yang lebih luas dan manusiawi. Karenanya, usulan nama Insulinde dari Multatuli inilah yang dirasa oleh banyak kalangan terpelajar lebih pas dan segera meraih popularitas. Bagi mereka menggunakan nama Insulinde terasa lebih keren dan greng pada zamannya.

Nama Insulinde semakin populer sejak digunakan sebagai nama sebuah organisasi yang menghimpun kaum Indo-Eropa maupun  Eurasia pada tahun 1907. Insulinde berdiri di Bandung pada tahun 1907 dan mendapat pengikut di berbagai kota, terutama di pulau Jawa. Insulinde memilih Semarang sebagai pusatnya.

Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Insulinde bermaksud mendirikan sebuah organisasi partai politik yang hendak memperjuangkan kemandirian wilayah Hindia (Hindia untuk Hindia). Partai itu diberi nama Indische Partij (IP), organisasi politik pertama di Hindia Belanda yang juga didirikan di Bandung. Namun usaha itu tidak berhasil, IP tidak  memperoleh pengakuan resmi dari Gubernur Jenderal sehingga terpaksa membubarkan diri. Sejumlah tokohnya seperti E.F.E. Douwes Dekker (kelak dikenal sebagai Dr. Setiabudhi) dan Tjipto Mangoenkoesoemo memilih untuk melanjutkan kiprahnya dengan bergabung ke dalam Insulinde, yang juga didikuti oleh banyak pengikutnya.

Insulinde yang semula bersifat non-politik kemudian menjadi organisasi politik dan memiliki lebih banyak pengikut, tak hanya orang-orang Indo tetapi juga kaum pribumi. Perkembangannya bahkan semakin pesat ketika di Surakarta dan sekitarnya. Insulinde berhasil menarik banyak petani dan buruh di wilayah pedalaman. Terlebih sejak bergabungnya tokoh bernama H. Misbah yang mampu memikat masyarakat desa untuk menjadi bagian dari Insulinde.  Anggotanya mencapai lebih dari 10.000 orang. Mereka mulai mempromosikan gagasan Hindia untuk Hindia, yang menghendaki pemerintahan sendiri atas wilayah Hindia. Ini merupakan gerakan  awal dari nasionalisme Indonesia yang tumbuh di kemudian hari.  

Sebuah peristiwa heroik melambungkan nama Insulinde sekaligus membuat penguasa semakin menekan keras para aktivisnya, yakni pemogokan ribuan buruh perkebunan tembakau di Polanharjo pada Juli 1919. Konon pemogokan ini diprovokasi oleh E.F.E. Douwes Dekker dan sejumlah tokoh Insulinde lainnya.

Pada kongres ke-8 yang berlangsung di Semarang pada Juni 1919 Insulinde bertransformasi menjadi Nationaal Indische Partij -Sarekat Hindia (NIP-SH). Nationaal Indische Partij menetapkan tujuannya untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat Hindia, serta menumbuhkan jiwa patriotisme untuk dapat bekerja sama dengan berbagai pihak berlandaskan  persamaan di depan hukum. Singkatnya, NIP-Sarekat Hindia memiliki tujuan untuk memupuk semangat nasionalisme Hindia dengan gagasan persatuan nasional.

Kelak gagasan ini menginspirasi tokoh-tokoh muda dari Nusantara, salah satunya Ir. Soekarno. Ketika masih bersekolah Sekolah Tinggi Teknik (ITB sekarang) di Bandung Soekarno banyak berdiskusi dengan dua tokoh Insulinde sekaligus pendiri Indiche Partij yakni Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkosoemo. Namun Soekarno tidak menggunakan istilah Insulinde untuk menyebutkan nama tanah airnya, sebagai gantinya ia menggunakan nama Indonesia. ***

Facebook
Twitter
WhatsApp
Buka Whastapp
1
Butuh Bantuan?
sekretariat@pp-pfi.org
Hallo! Apa yang kami bantu?